Menelusuri kebesaran Sultan Muhammad Al-fatih
“Sungguh (pasti) Qasthanthiniyah (Konstantinopel) akan di taklukkan, maka sungguh sebaik-baiknya pemimpin adalah pemimpinnya, dan sebaik-baiknya pasukan adalah pasukan itu”
Menurut banyak ulama, pemimpin yang
dimaksudkan dalam hadits di atas adalah Sultan Muhammad II bin Sulthan Murad II
al-'Utsmani, juga dikenal sebagai "Al-Fatih" (wafat 886 H). Dialah
yang berhasil menaklukkan kota Konstantinopel dan membuatnya menjadi pusat
pemerintahan kekhilafahan "Utsmaniyah", "Islambul", yang
sekarang disebut "Istanbul" di Turki. Menurut ulama, ini adalah salah
satu cara untuk menghormati Sulthan Muhammad al-Fatih, yang Nabi Shallallahu
'alayhi wa sallam telah mengumumkan kedatangannya dan memujinya.
Sebenarnya, sebelum beliau, banyak pemimpin
Islam berusaha menawan Konstantinopel dalam upaya memenuhi nubuat Nabi
shallallahu 'alayhi wa sallam. Usaha pertama dimulai pada tahun 44 H, di masa
Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan radliyallah 'anh, tetapi gagal, dan salah
seorang sahabat Nabi, Abu Ayyub al-Ansari, syahid di pinggir kota
Konstantinopel.
Khilafah Bani Umayyah menyiapkan pasukan
besar untuk mengepung kembali kota tersebut pada tahun 98 H di bawah
pemerintahan Sulaiman bin Abdul Malik. Namun, Allah Ta'alaa masih tidak
memungkinkan mereka untuk menaklukkannya.
Di bawah pemerintahan Khilafah Abbasiyyah,
beberapa upaya terus dilakukan tetapi selalu gagal. Salah satunya adalah upaya
yang dilakukan pada tahun 190 H oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid, yang terkenal
dengan kejayaannya, tetapi Allah Ta'alaa masih belum mengizinkannya.
Kerajaan-kerajaan kecil di Asia Minor (atau
Anatolia), terutama Kerajaan Seljuk, berusaha menaklukkan Konstantinopel
setelah Baghdad runtuh tahun 656 H. Pemimpin terkenalnya adalah Alp Arslan
(455–465 H/1063–1072 M). Pada tahun 463 H/1070 M, dia mengalahkan Raja Rum
Dimonos. Pada tahun 8 H/1014 M, Daulah Khilafah ‘Utsmaniyyah membuat perjanjian
dengan Seljuk Rum, yang saat itu berpusat di Konya. Pada tahun 796 H / 1393 M,
Sultan Yildrim Beyazid (wafat 1402 M) berhasil mengepung Konstantinopel. Ini
memaksa Raja Byzantine untuk menyerahkan Konstantinopel secara damai kepada
orang Islam. Namun, usahanya itu gagal karena tentara Mongol yang dipimpin
Timurlank menyerang Daulah Khilafah "Utsmaniyyah", memaksa Sultan
Beyazid untuk menarik kembali tentaranya untuk mencegah serangan Mongol.
Sebaliknya, dia telah ditahan.
Kemudian, Sultan Murad II (824–863
H/1421–1451 M) berusaha menaklukkan Konstantinopel, tetapi tidak berhasil
hingga putranya, Sultan Muhammad Al-Fatih, menjadi sultan ke-7 Khilafah Daulah
‘Utsmaniyyah.
Setelah menjabat sebagai sultan pada tahun
855 H / 1451 M, kekuatan Sultan Muhammad Al-Fatih banyak bergantung pada
keluhuran akhlaknya. Ini karena keprihatinan ayahnya, yang telah mendidiknya
secara intensif oleh para ulama terkenal saat itu. Syaikh Ahmad bin Ismail
Al-Kurani (w. 893H), seorang ulama yang disebut Sultan al-Fatih sebagai
"Abu Hanifah di Zamannya", adalah salah satu gurunya. Selain itu, dia
memiliki hubungan yang baik dengan beberapa ulama, seperti al-Mulla 'Abdur Rahman
al-Jami, seorang Syaikh Thariqat Naqsyabandiyyah, dan al-Qadhi Mustafa bin
Yusuf, yang dikenal sebagai "Khawajah Zadah", seorang pakar ilmu
kalam yang meninggal pada tahun 893 H, yang menulis kitab al-Tahafut, yang
merupakan analisis komparatif antara kitab Tahafut al-Falasifah dan Tahafut
al-Hukama' karya Imam
Al-Fatih belajar Fiqh, Al-Qur'an, Hadits,
dan Linguistik (Arab, Parsi, dan Turki) dari Syaikh Aq Syamsuddin. Dia juga
belajar matematika, falak, sejarah, ilmu peperangan, dan bidang lain. Menurut
Syaikh Aq Syamsuddin, Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa sallam menunjuk
al-Fatih di dalam hadits tentang penaklukan Konstantinopel dan memberinya
motivasi dan keyakinan. Untuk merealisasikan hadits Rasulullah Shallallahu
'alayhi wa sallam, Syaikh Aq Syamsuddin segera menemui beliayu ketika Al-Fatih
menjadi Khalifah dan menyiapkan bala tentara untuk menaklukkan Konstantinopel.
Peperangan mengerikan itu berlangsung
selama lima puluh empat hari. Ketika futuhat Istanbul terjadi, Sultan Muhammad
Al-Fatih menyatakan bahwa dia sangat menyayangi Syaikh Aq Syamsuddin dan
menganggapnya sebagai orang yang memiliki kedudukan istimewa.
Kalian benar-benar melihat saya senang.
Keberhasilan menaklukkan kota ini bukanlah satu-satunya alasan kegembiraanku;
itu adalah karena kehadiran Syaikhku yang mulia, Syaikh Aq Syamsuddin, yang
merupakan pendidikku.
Sebagaimana yang diketahui, sebagian besar
ulama Khilafah 'Utsmaniyyah adalah ahli tasawuf, bermadzhab Maturidiyyah dalam
hal akidah, dan bermadzhab Hanafi dalam hal fiqh. Kekuatan dan keberhasilan
Sultan Muhammad al-Fatih berasal dari bimbingan dan pelajaran yang dia terima
dari para ulama ini. Jadi, ratusan tahun sebelum dia muncul, Nabi shallalahu
‘alayhi wa sallam memberitakan tentang dirinya dan memujinya.
Kumpulan "tajdid" yang menentang
tradisi mungkin tidak senang dengan fakta ini. Kadang-kadang mereka membantah
hadits dengan mengatakan bahwa itu dla'if! Bagaimana mereka dapat menentang
keyakinan banyak ulama bahwa hadits tersebut tsabit dari Rasulullah shalallahu
'alayhi wa sallam?
HIKMAH YANG BISA DIPETIK: Ketekunan dalam
belajar, moralitas, dan penguasaan berbagai disiplin ilmu penting untuk menjadi
orang yang tangguh.
Namun, ulama adalah kekuatan umat Islam
karena mereka adalah pewaris Nabi yang seharusnya bertanggung jawab untuk
membawa kejayaan Islam dan mendidik generasi muda menjadi pemuda yang
berpribadian Islam. Sebab semangat pemuda tanpa bimbingan akan tersesat dan
salah arah.
Umat Islam tidak selayaknya mencela kaum
Sufi yang benar, ahli Kalam yang benar, dan thariqat-thariqat lainnya karena
merekalah yang paling banyak memperjuangkan Islam. Oleh karena itu, sangat
disayangkan bahwa kaum pencela yang gencar di masa kini banyak mencela sufi.
Selain itu, tidak sepatutnya mencela Aqidah
Maturidiyah, yang merupakan aqidah ahlussunnah, dan Aqidah Asy'ariyah, yang
dianut oleh mayoritas umat Islam. Ini karena Aqidah Maturidiyah adalah aqidah
al-Fatih dan Aqidah Asy'ariyah adalah aqidah Shalahuddin al-Ayyubi. Pemuda
Islam harus berkonsentrasi pada pendidikan tanpa mengabaikan akhlakul karimah.
Mereka juga harus berhati-hati saat mencari informasi, yaitu dengan memahami
dengan benar ahlussunnah wal jama'ah agar tidak salah.
Join the conversation