Berterima Kasih Kepada Bahasa Indonesia Setahun Sekali
Kurdi adalah negara yang besar. Meskipun
memiliki penduduk, akar sosial-budaya-sejarah, dan bahasa yang sama, sayangnya
tidak memiliki tanah air. Mereka tersebar di Irak, Iran, Suriah, dan sebagian
juga tersebar di negara-negara lain di Jazirah Arab, dan sebagian kecil tinggal
di Eropa. Sejarah telah melihat kelahiran tokoh-tokoh hebat seperti Salahuddin
al-Ayyubi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khallikan, hingga Ibnu al-Atsir dan Ibnu Shalah
as-Syahrazuri. Namun, hingga saat ini, bangsa ini masih belum memiliki
kemerdekaan penuh.
Di India, malah sebaliknya. Meskipun
memiliki akar sejarah yang kuat, geografi yang luas, dan populasi yang besar,
mereka belum berbicara satu bahasa. Hindi bukan bahasa pemersatu meskipun
paling populer. Bahasa Inggris hanya menjadi bahasa pengaturan dan penghias
dialog dalam film Bollywood dengan aktor-aktris yang fasih mengucapkan,
"Owh, shit!"
Dengan populasi lebih dari satu miliar
orang, bahasa utama di India adalah Hindi, yang dituturkan secara dominan dan
banyak menyerap istilah Arab dan Persia, meskipun ditulis menggunakan aksara
Dewanagari. Sebaliknya, bahasa-bahasa lain di India, seperti Tamil Nadu,
Kannada, Malayalam, Maithili, Kashmir, Sanskerta, Punjabi, dan bahasa-bahasa
lokal lainnya, dituturkan oleh kelompok etnis yang tinggal di masing-masing
negara bagian.
Anda dapat menonton Chennai Express, yang
dibintangi oleh sepupu jauh saya, Shah Rukh Khan dan Deepika Padukone. Shah
Rukh Khan hanya bisa berbahasa Hindi-Urdu, sedangkan keluarga besar Deepika dan
sukunya hanya bisa berbahasa Tamil. Ini akan membuat Anda tidak percaya bahwa
India tidak memiliki bahasa pemersatu. Itu sangat buruk.
Jika itu terjadi di Indonesia, itu mirip
dengan hubungan Joko dengan Putri Batak Annabelle. Sayangnya, keluarga
perempuan tidak mahir berbahasa Jawa, dan Joko tidak mahir berbahasa Batak.
Macet. Orang-orang hanya berbicara dan berinteraksi melalui bahasa isyarat,
dengan penghubung juru terjemah menjadi satu-satunya cara. Dengan memilih
bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, para pemuda dari berbagai suku
memproklamirkan kedaulatan berbahasa 89 tahun lalu.
Sebuah bahasa yang menyatukan berbagai suku
dan bangsa dapat memperkuat kemajemukan dan menghilangkan hubungan tradisional.
Karena itu, Wan Amat, yang berasal dari Arab dan tinggal di Jalan Sasak,
wilayah Kampung Ampel, Surabaya, dapat dengan nyaman berbicara dengan Ahong,
yang berasal dari Tionghoa dan tinggal di Kampung Melayu, Makassar. Bahasa
Indonesia, antara lain, memungkinkan komunikasi tanpa sekat.
Bahasa nasional dan persatuan ini berfungsi
dengan baik untuk mengatasi perbedaan bahasa dan istilah lokal yang sering
menyebabkan salah tafsir. Bujur dalam bahasa Batak Karo berarti "terima
kasih", tetapi dalam bahasa Sunda berarti "pantat". Dalam bahasa
Sunda, amis berarti "manis", sementara dalam bahasa Jawa berarti "bau
anyir". Bagi orang Jawa, lawang berarti pintu, tetapi bagi orang
Palembang, itu berarti gila. Sekali lagi, terima kasih karena bahasa yang
menyatukan negara maritim ini.
Namun, sebagai orang Jawa, saya tetap
memprioritaskan pengajaran bahasa ini di dalam keluarga. Habib Lutfi bin Ali
bin Yahya menyatakan bahwa mengajarkan anak berbahasa daerah merupakan bagian
dari pengokohan identitas individu, bukan lambang primordialisme. bahwa,
sebagai orang Jawa, saya menjadi bagian dari "kita Indonesia" dengan
mengajar anak berbahasa daerah. seperti orang Sunda, Batak, Dayak, Bali, Papua,
Bugis, Madura, dan banyak suku lain yang membentuk Indonesia.
Bangsa Kurdi memiliki identitas sebagai
sebuah bangsa yang menggunakan bahasa nasional yang sama, tetapi tidak memiliki
tanah air. Sebaliknya, India menggunakan bahasa nasional Hindu-Urdu, tetapi
tidak menggunakan bahasa yang sama. Bagaimana dengan kita? "Tanah air
Indonesia", "bangsa Indonesia", dan "bahasa Indonesia"
adalah kata-kata yang lengkap dalam Sumpah Pemuda 89 tahun yang kita peringati
kemarin. Tukadzdziban fabiayyi ala-i rabbikuma?
Sebagai bangsa Indonesia yang bertanah air
Indonesia dan berbahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, setiap suku bangga
dengan identitas asli mereka tanpa harus berpura-pura menjadi suku lain. Ini
mirip dengan kisah orang Madura yang jatuh cinta dengan budaya Jawa tetapi
tidak mampu menutupi logatnya meskipun berbahasa Indonesia.
"Oh, kalok sayya aselli Sollo,
Dik....”
Wallahu a'lam bisshawab.
2 comments