KH Agus Sunyoto: Ken Arok Adalah Tokoh Fiksi yang Diciptakan oleh Belanda Untuk Menghina Dioenogoro

Didampingi Rais Syuriah PCNU Jepara, KH Ubaidillah Noor Umar (kanan) KH Agus Sunyoto (tengah) mengisi "Bedah Buku Atlas Walisongo" dalam rangka Hari Santri 2017 di Gedung Setda Pemda Kab. Jepara, Rabu (18/10/2017).

Mempertimbangkan atau tidak, literatur sejarah yang dibuat oleh Belanda masih mendominasi pengetahuan tentang sejarah Indonesia. Walau tidak ada bukti prasasti atau naskah kuno yang mendukung kebenarannya, rekayasa sejarah masih digunakan dalam sistem pendidikan hingga saat ini.

Misalnya, banyak orang masih percaya bahwa Sunan Kudus melawan Saridin adalah cerita rakyat yang sebenarnya. Namun, karena berbeda waktu, kedua wali tersebut tidak pernah bertemu. Sekolah pun masih mengajarkan Serat Pararaton yang dibuat oleh Belanda untuk mencari tahu tentang tokoh misterius Ken Arok, nama raja dari Singasari yang belum dapat dibuktikan kebenarannya.

Dalam peringatan Hari Santri 2017 oleh PCNU Jepara, KH Agus Sunyoto mengatakan saat membedah buku "Atlas Walisongo" di Ruang Setda Gedung Pemda Jepara, Rabu (18/10/2017) siang. Dia mengatakan bahwa tidak ada satu pun prasasti atau naskah kidung yang menyebut Ken Arok. Nama itu baru muncul di zaman Belanda saat Perang Diponegoro.

Serat Pararaton muncul saat Pangeran Diponegoro membanggakan garis keturunan Majapahit. Dia membanggakan bahwa leluhurnya yang menjadi raja-raja Mataram memang keturunan Majapahit, dan para pangeran juga terus bangga sebagai keturunan Majapahit.

Saat itulah Belanda membuat cerita berjudul Pararaton untuk mempelajari pikiran para pejuang yang bergabung dengan Pangeran Jihad dan Diponegoro dalam perjuangan melawan penjajahan. Inti dari cerita adalah ingin menunjukkan bahwa raja-raja Majapahit mungkin benar-benar berasal dari Singasari, dengan raja pertamanya disebut Ken Arok. Siapa?

Menurut Serat Pararaton, para bangsawan Yogyakarta, Surakarta, dan bupati-bupati yang berpikir mereka memiliki hubungan darah dengan Ken Arok tidak perlu bangga dengannya karena dia hina, jahat, dibesarkan di lingkungan yang buruk, dan keturunan orang yang tidak jelas silsilahnya.

Cerita fiksinya dimulai dengan menyebut Ken Arok sebagai anak haram yang dilahirkan dari hubungan gelap dengan Ken Endok. Ketika dia lahir, dia dibuang ke kuburan dan kemudian ditemukan oleh maling bernama Lembong. Karena diasuh oleh maling yang buruk dan tinggal di lingkungan yang jahat, Ken Arok akhirnya digambarkan sebagai anak yang nakal. Menurut Pararaton, ketika Ken Arok masih kecil, dia diasuh oleh Banyu Samparan, seorang penjudi. Kemudian dia berguru kepada Empu Paron, seorang pendeta sakti yang melakukan ritual kejam yang suka meminum darah manusia dan memakan mayatnya.

Tidak cukup untuk menunjukkan betapa kejamnya Ken Arok. Lanjut ceritanya menjadi lebih mengerikan. Saat dewasa, ia diceritakan oleh Serat Pararaton pernah mengabdi kepada Kerajaan Tumapel hingga ingin merebut istri Ki Agung Tumapel, penguasa kerajaan di Jawa Timur yang sangat dihormati.

Untuk memudahkan tujuan, Ken Arok kemudian meminta keris kepada Empu Gandring. Setelah menerimanya, Empu Gandring dibunuh dengan kejam. Tidak hanya tidak mau membayar, mereka malah dibunuh. Dalam karya sastra Ken Arok, inilah mental yang ingin dibangun.

Selanjutnya, dikatakan bahwa keris itu dirancang untuk membunuh Tumenggung Ametung, dan akibatnya, Ken Arok dikutuk tujuh turunan karena menikahi istri Tumenggung yang sedang hamil.

Pangeran dan bangsawan Surakarta dan Yogyakarta merasa tertekan setelah mendengar cerita yang beredar di masyarakat bawah. Selain itu, kisah yang tidak sopan tentang Ken Arok dikaitkan dengan keturunan Belanda yang dianggap sebagai darah biru, orang suci (Santo), dan baik hati.

Kiai Agus Sunyoto menyatakan bahwa kisah asli Ken Arok tidak ditemukan di naskah mana pun selain Serat Pararaton. Namun, semuanya terungkap ketika bukti prasasti Mula Malurung ditemukan di Kediri pada tahun 60-an.

Kiai Agus dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada bunuh-bunuhan seperti dongeng dalam Serat Pararaton, yang edisi terbarunya dicetak tahun 1960 dan masih tulisan Pegon itu tahun 1920 zaman kolonial.