Pembukuan dan pembakuan Al Qur’an


Penulisan Al Qur’an terdiri dari beberapa periode hingga pada tahap pembukuan serta pembakuannya yaitu:
1.                   Periode Nabi Muhammad SAW

Nabi Muhammad SAW menaruh perhatian seriusuntuk penulisan wahyu. Beliau menunjuk beberapa sahabat sebagai sekretaris, penulis wahyu dengan menyusun tertib ayat sesuai petunjuk beliau berdasarkan petunjuk Allah SWT lewat malaikat jibril. Mereka diantaranya adalah Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan,Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik, ubaid bin Ka’ab, Muawiyah bin Abu Sufyan,Zubair bin Awwam, Abdullah bin Arqam, Abdullah bin Rawahah dan lainnya. Namun yang paling berkompeten diantara mereka adalah Zaid bin Tsabit.

Semua ayat Al Qur’an yang di tulis di hadapan nabi ditulis diatas benda yang bermacam –macam antara lain batu,tulang,kulit binatang, pelapah kurma dan sebagainya, disimpan di rumah nabi dalam keadaan masih terpencar pencar ayatnya, belum terhimpun dalam satu mushaf. Disamping itu para penulis wahyu secara pribadi masing masing membuat naskah dari tulisan ayat – ayat tersebut untuk koleksi pribadi masing – masing.


Contoh dari lembaran mushaf

Naskah al Qur’an yang disimpan di rumah nabi dan diperkuat  oleh naskah – naskah yang dibuat oleh para penulis wahyu serta ditunjang oleh hafallan para sahabat yang banyak jumlah akan dapat menjamin Al Qur’an tetap terpelihara secara lengkap dan orisinil. Sebagaimana janji Allah SWT dalam Al Qur’an (Q.S Al Hijr : 9) bahwa Allah SWT akan menjaga sepanjang masa


2.                   Periode khalifah Abu Bakar

Musailamah al Kadzdzab memimpin gerakan keluar dari agama Islam dan pembangkangan membayar zakat setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Abu Bakar segera mengirim pasukan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid untuk menanggapi gerakan ini. Pada tahun 12 Hijriyah, terjadi perang nyata di Yamamah. Banyak orang muslim terbunuh, termasuk 70 sahabat yang hafal Al Qur'an yang terbunuh sebagai syuhada.

Setelah peristiwa tragis ini, Umar bin Khattab menyarankan kepada Abu Bakar untuk segera mengumpulkan ayat Al Qur'an dalam satu mushaf. Ini karena dia khawatir bahwa sebagian ayat akan hilang karena sebagian penghafalnya akan meninggal. Namun, Zaid tidak suka tawaran ini karena dia pikir nabi tidak pernah melakukannya. Namun, berkat diplomasi Abu Bakar, yang sepenuhnya didukung Umar bin Khattab, Zaid akhirnya menerimanya dengan lapang dada. Meskipun ia penulis wahyu utama dan hafal seluruh Al Qur'an, Zaid bin Tsabit sangat berhati-hati dalam menjalankan tugas berat ini. Dalam menjalankan tugasnya, dia berpegang pada dua hal: 1. Ayat—ayat Al Qur'an yang ditulis di depan nabi dan disimpan di rumahnya; 2. Ayat—ayat yang dihafal oleh para sahabat yang hafal Al Qur'an. Zaid tidak mau menerima tulisan ayat Al Qur'an kecuali dengan pengakuan dua orang saksi yang adil bahwa ayat itu benar-benar ditulis di depan nabi dan atas perintah dan perintahnya.

Antara perang di Yamama dan sebelum Abu Bakar meninggal, Zaid dapat menyelesaikan tugas menghimpun Al Qur'an dalam waktu kurang lebih satu tahun. Oleh karena itu, dicatat dalam sejarah bahwa Abu Bakar adalah orang pertama yang menghimpun Al Qur'an dalam mushaf atas inisiatif Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit. Mushaf itu kemudian disimpan Abu Bakar oleh Umar bin Khattab setelah Abu Bakar wafat, dan istri nabi Hafsah, yang hafal Al Qur'an juga bisa menulis.

Gambar adalah Mushaf al quran pada zaman dulu


3.                   Periode khalifa Utsman bin Affan

Umat Muslim berbeda dalam cara membaca Al Qur'an selama pemerintahannya. Persatuan dan kesatuan umat Islam akan terganggu jika hal ini dibiarkan. Karena itu, sahabat Utsman, Hudzaifah, menyarankan Utsman agar segera menyeragamkan bacaan Al Qur'an dengan menuliskannya seragam. Misalnya, jika terjadi perbedaan bacaan, diusahakan untuk tetap berada di batas ma’tsur—yang diajarkan oleh nabi—karena Al Qur'an diturunkan dengan tujuh dialek yang ada pada masa itu.

Setelah menerima gagasan pembakuan Al Qur'an ini, Utsman bin Affan membentuk panitia yang terdiri dari empat orang: Zaid bin Tsabit, Sa'id bin Al Ash, Abdullah bin Zubair, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam. Zaid bin Tsabit bertanggung jawab untuk menyalin Al Qur'an dari mushaf Hafsah karena dianggap sebagai naskah standar Al Qur'an.

Komite bekerja untuk menyalin mushaf ini hingga menghasilkan lima buah mushaf yang akan dikirim ke berbagai tempat. Ada arahan bahwa setiap mushaf Al Qur'an yang berbeda dengan mushaf Utsman yang dikirim harus dibuang. Semua orang pada waktu itu, termasuk para sahabat nabi, dengan senang hati menyambut terbitnya mushaf Utsmani (juga dikenal sebagai mushaf Al-Imam) ini. Mereka dengan senang hati mengikuti perintah Utsman bin Affan.

Mushaf Hafsah yang dipinjam dikembalikan kepada Hafsah setelah tim penyusun menyelesaikan pekerjaan mereka. Khalifah bani Umayyah Marwan bin Hakam (W. 65 H) pernah meminta agar mushaf Hafsah dibakar. Hafsah menolak, tetapi Marwan mengambilnya dan membakarnya setelah dia meninggal. Untuk menjaga keseragaman Al Qur'an yang telah dibakukan oleh Utsman dan untuk menghindari keraguan umat Islam di masa mendatang terhadap mushaf Al Qur'an jika masih ada dua jenis mushaf: mushaf Utsman dan mushaf Hafsah.