Islam masa klasik

Ka'bah menjadi pusat peradaban islam setelah fathul makkah

Ini menandai awal pembabakan peradaban Islam. Ketika Rasulullah SAW diangkat menjadi rasul, periode ini dimulai. Pada malam hari tanggal 17 Ramadhan atau 6 Agustus 611 M, Malaikat Jibril datang dan membacakan surah Al-Alaq, surah pertama dari Quran yang diberikan kepada Muhammad. Muhammad menolak untuk membaca ayat yang diberikan kepadanya. Meskipun Jibril meminta Muhammad membaca tiga kali, jawabannya tetap sama. "Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah," kata Jibril. Dengan nama Tuhanmu yang Maha Pemurah, yang mengajar manusia melalui tulisan dan bacaan, bacalah. Dia mengajarkan manusia apa yang mereka tidak ketahui. (Al-Alaq 96: 1-5)

Ketika ayat pertama dan pengangkatannya sebagai rasul disampaikan kepada Muhammad, dia berusia empat puluh tahun enam bulan dan delapan hari, menurut tahun kamariah (penanggalan berdasarkan bulan), atau 39 tahun tiga bulan delapan hari menurut tahun syamsiah atau tahun masehi (penanggalan berdasarkan matahari). Setelah peristiwa di Gua Hira, Muhammad kembali ke rumahnya dan mengatakan bahwa dia merasakan suhu tubuhnya panas dan dingin karena peristiwa yang baru saja terjadi. Dia meminta istrinya untuk memberinya selimut.

Tiga tahun setelah penyebaran Islam secara diam-diam, Muhammad mulai menyebarkan Islam secara terbuka kepada orang-orang Mekkah. Karena ajaran Islam yang dia bawa bertentangan dengan budaya dan cara berpikir masyarakat Mekkah pada saat itu, responsnya sangat keras. Akibat penolakan keras dari masyarakat jahiliyyah dan kekuatan Quraisy yang menentangnya, Muhammad dan banyak pemeluk Islam awal lainnya mengalami penyiksaan, penghinaan, penghinaan, dan penghapusan dari masyarakat Mekkah. Pemimpin Mekkah Abu Jahal menyatakan bahwa Muhammad adalah orang gila yang akan merusak tatanan hidup orang Mekkah.

Gagasan untuk berhijrah ke Habsyah (sekarang Ethiophia) muncul sebagai akibat dari penyiksa yang dialami hampir seluruh pemeluk Islam selama periode ini. Negus, juga dikenal sebagai raja Habsyah, memungkinkan orang Islam berhijrah ke negaranya dan melindungi mereka dari tekanan dari penguasa Mekkah. Pada tahun 622, Muhammad sendiri hijrah ke Yatsrib, yang sekitar 200 mil (320 km) di sebelah utara Mekkah.

  1. Hijrah ke Madinah

Setiap tahun, masyarakat Arab dari berbagai suku berkunjung ke Mekkah untuk mengunjungi Bait Allah atau Ka'bah dan menjalankan berbagai tradisi keagamaan. Muhammad melihat kesempatan ini sebagai kesempatan untuk menyebarkan agama Islam. Sebuah kelompok orang Yatsrib tertarik dengan ajarannya. Secara rahasia, mereka bertemu dengan Muhammad dan beberapa orang yang telah memeluk Islam dari Mekkah di suatu tempat yang disebut Aqabah. Setelah mereka memeluk agama Islam, mereka bersumpah untuk melindungi Muhammad dan pemeluk agama Islam dari tindakan kejam penduduk Mekkah.

Tahun berikutnya, sekelompok orang Islam dari Yatsrib kembali ke Mekkah dan menemui Muhammad di tempat yang sama mereka temui tahun sebelumnya. Selain pamannya Abbas bin Abdul Muthalib, yang saat itu belum menganut Islam, hadir dalam pertemuan tersebut. Karena kondisi keamanan di Mekkah tidak aman, mereka mengundang orang-orang Islam dari Mekkah untuk berhijrah ke Yastrib. Pada tahun 622 M, Muhammad akhirnya menerima ajakan tersebut dan berhijrah ke Yastrib.

Muhammad mendirikan kekhalifahan Islam di Madinah. Di Madinah, orang Islam, serta minoritas Kristen dan Yahudi, dapat beribadah (salat) dan hidup bersama. Setelah hijrah ke Madinah, Muhammad sering menghadapi serangan, teror, ancaman pembunuhan, dan peperangan dari penguasa Mekkah. Namun, dengan umat Islam yang berkumpul di Madinah, semuanya lebih mudah diatasi.

Tahun 629 M, 8 H setelah hijrah ke Madinah, Muhammad kembali ke Makkah dengan pasukan Muslim sebanyak 10.000 orang dengan tujuan untuk menaklukkan kota Mekkah dan menyatukan penduduk Mekkah dan Madinah. Dia berhasil mempersatukan keduanya dan menyebarluaskan Islam ke seluruh Jazirah Arab.

Muhammad memimpin umat Islam untuk melakukan haji, memusnahkan semua berhala di sekitar Ka'bah, dan kemudian memberikan amnesti umum dan menerapkan hukum Islam di kota Mekkah.

  1. Masa Khulafa al-Rasyidin

Setelah beliau wafat, Nabi Muhammad tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan mengambil alih posisinya sebagai pemimpin politik umat Islam. Tampaknya dia meninggalkan kaum muslimin untuk menentukan masalah tersebut. Di balai kota Bani Sa'idah di Madinah, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul untuk musyawarah tentang siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin setelah dia meninggal dunia dan jenazahnya belum dimakamkan. Karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam, musyawarah tersebut berjalan cukup alot. Namun, Abu Bakar terpilih sebagai pemimpin umat Islam karena semangat ukhuwah Islamiah yang kuat. Hassan Ibrahim Hassan mengatakan bahwa semangat keagamaan Abu Bakar dihargai oleh umat Islam, sehingga Muhajirin dan Anshar dapat menerima Abu Bakar dan menganggapnya sebagai pemimpin umat Islam.

a.      Masa Khalifah Abu Bakar [632-634 M]

Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar disebut sebagai Khalifah Rasulillah (pengganti Rasul), dan dia kemudian disebut sebagai khalifah saja. Pada tahun 634 M, Abu Bakar meninggal dunia, setelah menjadi khalifah pada tahun 632 M. Masanya yang singkat itu banyak digunakan untuk menyelesaikan masalah di dalam negeri, terutama masalah atau keengganan suku-suku Arab yang menolak untuk tunduk pada pemerintahan Madinah. Karena mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad dengan sendirinya tidak mengingat lagi dan batal setelah Nabi wafat, ini adalah alasan yang sangat penting untuk ketidaksetujuan mereka. Dengan demikian, sebagai pemimpin umat Islam, mereka menentang Abu Bakar. Karena sikap membangkang, menentang, dan keras kepala yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan masalah ini dengan apa yang disebut sebagai Perang Riddah. Khalid ibn al-Walid adalah jenderal yang sangat penting dalam mengatasi perang Riddah.

Setelah menyelesaikan masalah di dalam negeri, Abu Bakar mulai mengirimkan kekuatan ke luar Arabia. Di tahun 634 M, Khalid ibn al-Walid dapat menguasai al-Hirah setelah dikirim ke Irak. Ekspedisi yang dipimpin oleh Amr Ibn al-Aas, Abu Ubaidah, Yazid ibn Abi Sufyan, dan Syurabbil ibn Hasanah dikirim ke Syria. Usamah, yang masih berusia 18 tahun, sebelumnya memimpin pasukan. Setelah itu, Khalid ibn al-Walid diperintahkan untuk meninggalkan Irak untuk memperkuat tentara ini. Delapan belas hari kemudian, dia tiba di Syria melalui gurun pasir yang sulit dilewati. Pada tahun 634 M, Abu Bakar meninggal sementara pasukan Islam yang paling berpengaruh berada di Palestina, Irak, dan kerajaan Hirah. Untuk mencegah perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam, Abu Bakar bermusyawarah dengan para pemuka sahabat dan mengangkat Umar ibn Khattab sebagai penggantinya ketika dia sakit dan merasa ajalnya sudah dekat. Kebijakan Abu Bakar disambut baik oleh orang-orang Islam, yang secara kolektif mengangkat Umar ibn Khattab sebagai khalifah kedua.

b.      Masa Khalifah Umar ibn Khattab [634 – 644 M].

Umar ibn Khattab menyebut dirinya sebagai khalifah Khalifati Rasulillah, yang berarti khalifah yang menggantikan Rasulullah. Selain itu, Umar ibn Khattab memperkenalkan istilah Amir al-Mu'minin, yang berarti Komandan Orang-orang Beriman. Umar ibn Khattab, khalifah kedua, melanjutkan upaya Abu Bakar.

Di zaman Umar ibn Khattab, gelombang pertama ekspansi (perluasan wilayah kekuasaan dan da'wah) terjadi. Damaskus, ibu kota Syria, runtuh pada tahun 635 M, dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah dipertempuran Yarmuk, seluruh Syria jatuh ke tangan Islam. Setelah membangun basis di Syria, ekspansi dimulai dengan pimpinan "Amr ibn "Aas" di Mesir dan Sa'ad ibn Abi al-Waqqas di Irak. Pada tahun 641 M, Islam menaklukkan ibu kota Mesir, Iskandaria. Kemudian pada tahun 637 M, kota al-Qadisiyah dekat Hirah di Iraq jatuh. Dari sana, serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain, dan Mosul dapat dikuasi pada tahun 641 M. Jadi, Jazirah Arabiah, Palestina, Syria, Irak, Persia, dan Mesir adalah wilayah da'wah Islam pada masa khalifah Umar ibn Khattab.

c.        Masa Khalifah Usman ibn Affan [644 – 655 M]

Pemerintahan Usman ibn Affan, yang berlangsung selama dua belas tahun, membawa da'wah dan kekuasaan ke Armenia, Tunisia, Cyprus, dan Rhodes, serta wilayah Persia, Transoxania, dan Tabaristan yang tersisa. Ini adalah titik awal penyebaran Islam. Selama pemerintahan Usman ibn Affan, umat Islam mulai terbelah karena masalah pemerintahan. Sistem pemerintahannya membuatnya kecewa. Kepemimpinan Usman ibn Affan sangat berbeda dari Umar ibn Khattab. Ini mungkin karena sifatnya yang lemah lembut dan umurnya yang lebih tua (diangkat pada usia 70 tahun). Selain itu, kebijakan Usman untuk mengangkat keluarga ke posisi tinggi adalah salah satu alasan mengapa banyak orang tidak senang dengan pemerintahannya. Di antara mereka, Marwan ibn Hakam adalah yang paling penting karena dia pada dasarnya menjalankan pemerintahan, sedangkan Usman hanya berfungsi sebagai khalifah.

Usman bertindak seperti boneka di hadapan kerabatnya setelah banyak anggota keluarganya memegang posisi penting. Dia terlalu lemah terhadap keluarganya dan tidak dapat melakukan apa-apa. Selain itu, dia tidak tegas terhadap kesalahan bawahan dan harta negara yang dibagi-bagikan oleh kerabatnya tanpa kontrol Usman. Akhirnya, pada tahun 35 H/655 M, kaum pemberontak, yang terdiri dari orang-orang yang tidak puas dengan kebijakan pemerintahannya, membunuh Usman. Ali ibn Abi Thalib menggantikan dia. Salah satu tugas Khalifah Usman adalah membangun bendungan untuk mengontrol arus banjir yang besar dan membagi air ke kota-kota. Selain itu, Usman membangun jalan-jalan, jembatan, mesjid, dan memperluas mesjid Nabi di Madinah.

d.      Masa khalifah Ali ibn Abi Thalib [656 – 661 M]

Ali ibn Abi Thalib dipilih oleh masyarakat Islam sebagai khalifah keempat setelah kematian Usman ibn Affan. Ali ibn Abi Thalib memerintah hanya enam tahun, dan dia mati terbunuh, seperti khalifah Umar ibn Khattab dan Usman ibn Affan. Tidak ada waktu yang dapat dikatakan stabil selama pemerintahan Ali karena dia menghadapi banyak masalah dan kekacauan.

Ali ibn Abi Tahlib, khalifah baru, mulai memecat gubernur yang diangkat oleh Usman. Ali percaya bahwa pemberontakan terjadi karena kelalaian mereka. Selain itu, dia menarik kembali tanah yang diberikan oleh Usman kepada orang-orang dengan mengembalikan hasil pendapatannya kepada negara dan menerapkan kembali sistem pajak tahunan yang digunakan oleh orang-orang Islam pada masa khalifah Umar ibn Khattab.

Ali ibn Abi Thalib menghadapi tantangan dari mereka yang mendukung Usman Ibn Affan, terutama Mu'awiah, Gubernur Damskus, kelompok Talhah dan Zubeir di Mekkah, dan kaum Khawarij. Ali ibn Abi Thalib menghadapi Thalhah, Zubair, dan Aisyah yang berontak. Mereka menuntut bela terhadap darah Usman yang ditumpahkan secara zalim karena Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman ibn Affan. Ali sebenarnya ingin menghindari perang, jadi dia menulis kepada Thalhah dan Zubair agar mereka berunding untuk menyelesaikan masalah secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak, dan konflik tidak dapat dihindari. terjadi pertempuran yang mengerikan yang dikenal sebagai "Perang Jamal", atau "Perang Berunta", dan isteri Nabi, Aisyah, berperang melawan Ali ibn Abi Thalib dengan menunggang unta. Ali ibn Abi Thalib mengalahkan lawannya, dan Zubair dan Thalhah terbunuh ketika mereka hendak melarikan diri. Aisyah ditawan dan dikembalikan ke Madinah.

Kebijakan Ali ibn Abi Thalib juga memicu perlawanan dari gubernur Damaskus Mu'awiyah, yang didukung oleh banyak bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan posisi dan kekuatan mereka. Setelah Ali ibn Abi Thalib berhasil menghancurkan pemberontakan Zubair, Thalhah, dan Aisyah, dia kemudian berangkat dari Kufah dengan banyak tentaranya menuju Damaskus. Di Shiffin, pasukan Ali bertemu dengan pasukan Mu'awiyah, dan pertempuran terjadi. Pertempuran yang terjadi di tempat ini antara Ali dan Mu'awiyah disebut sebagai "perang shiffin". Setelah perang berakhir, tahkim—atau peradilan—tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan golongan ketiga—al-Khawarij—yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib dan berbalik menentang Ali dan Mu'awiyah.

Pada akhir pemerintahan Ali ibn Abi Thalib, umat Islam terbagi menjadi tiga kekuatan politik: satu golongan bernama Mu’awiyah, dua golongan yang dikenal sebagai Syi'ah, yang merupakan pengikut Ali, dan tiganya adalah al-Khawarij, yang merupakan kelompok orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib. Sementara pasukannya semakin lemah dan posisi Mu'awiyah semakin kuat, Ali ibn Abi Thalib tampaknya tidak mendapatkan manfaat dari situasi ini. Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H (660 M), salah seorang anggota Khawarij membunuh Ali ibn Abi Thalib. Hasan kemudian menggantikan Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah selama beberapa bulan. Namun, ketika kekuatan Mu'awiyah semakin meningkat, Hasan akhirnya mencapai kesepakatan damai. Perjanjian ini memungkinkan umat Islam bersatu kembali di bawah kepemimpinan Mu'awiyah ibn Abi Sufyan.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dari masa khulafa al-Rasidin, seperti perkembangan pemikiran dan peradaban Islam:

1) Setelah Rasul wafat, sistem pemerintahan Islam yang dikenal sebagai Khalifah muncul.

2) Sistem pemelihan khalifah, yang terdiri dari pemilihan Abu Bakar melalui musyawarah, pemilihan Umar ibn Khattab melalui wasiat Abu Bakar, pemilihan Usman ibn Affan melalui musyawarah enam orang sahabat, dan pemilihan langsung Ali ibn Abi Thalib oleh masyarakat Islam.

3) Kemajuan dari aspek perluasan kekuasaan dan da'wah serta aspek peradaban Islam, yaitu perluasan wilayah da'wah dan kekuasaan sampai ke Syria selama masa Abu Bakar. Jazirah Arabia, Palestina, Syria, dan sebagian besar wilayah Persia dan Mesir adalah bagian dari ekspansi kekuasaan dan da'wah Islam pada masa Umar ibn Khattab. Selain perluasan wilayah, Umar ibn Khattab juga memperbaiki sistem administrasi pemerintahan dengan membentuk jawabatan keamanan, membentuk jawatan pekerjaan umum, menetapkan tahun hijrah, mengubah sistem pembayaran gaji dan pajak tanah, mendirikan pengadilan untuk membedakan lembaga yudikatif dari eksekutif, dan mendirikan Bait al-Mal. Selama pemerintahan Usman ibn Affan, dibangun bendungan untuk menghentikan aliran banjir, mengatur distribusi air ke kota-kota, jalan-jalan, jembatan, dan measjid, termasuk memperluas mesjid Nabi di Madinah. Tiga kelompok politik dan intelektual muncul pada masa Ali ibn Abi Thalib: Muawiyah, syi’ah (penganut Ali) dan khawarij.

4) Perluasan dan da'wah Islam ke negara-negara yang jauh dari pusat kekuasaan Islam dalam waktu kurang dari lima puluh tahun adalah kemenangan yang luar biasa bagi suatu negara yang sebelumnya tidak memiliki pengalaman politik yang cukup. Faktor-faktor yang menyebabkan da'wah Islam berkembang dan berkembang dengan begitu cepat,

Oleh karena itu, periode Khilafah Rasyidin disebut dari masa Abu Bakar hingga masa Ali. Sebagian besar khalifahnya disebut sebagai al-khulafa’ alrasyidun, yang berarti "khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk". Ciri masa ini adalah khalifah yang mengikuti contoh Nabi. Proses demokrasi menyebut mereka yang dipilih melalui musyawarah. Namun, satu hal yang sangat menyedihkan dari masa khulafah Rasyidin adalah bahwa khalifah Umar ibn Khattan, Usman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib semuanya meninggal dalam keadaan dibunuh oleh lawan politik mereka selama pemerintahan mereka. Kekuatan diwariskan secara turun temurun dan pemerintahan Islam berbentuk kerajaan setelah periode ini. Ketika negara menghadapi kesulitan, para khalifah dalam khilafah rasyidin selalu bermusyawarah dengan para sahabat dan pembesar yang lain. Sementara raja Islam sering bertindak otoriter.