Gus Sholah meninggal dunia dan hikmah teladan kehidupan beliu (Catatan Fadrodzak)



Foto almarhum Gus Sholah

            KH Salahuddin Wahid atau Gus Sholah telah meninggal duni pada pukul pada usia 77 tahun 20.55 WIB. Ulama tersebut wafat usai kritis setelah operasi jantung di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta, Beliau pernah berpesan untuk di makamkan di samping kakak nya yaitu Al-Marhum Gus Dur di Ponps Tebu Ireng Jombang. Berikut biografi nya

Gus Sholah adalah salah satu tokoh masyarakat kelahiran Jombang, merupakan Putra ketiga dari 6  putra-putri KH Wahid Hasyim dan Nyai Hj. Solichah Putri KH. Bisri Sansuri dan adik kandung dari mantan presiden KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

MENEMPUH PENDIDIKAN
Setelah Hadratus Syekh Kiai Hasyim Asy'ari meninggal dunia pada tahun 1947, Salahuddin pindah ke Tebuireng untuk menggantikan ayahnya, KH. Wahid Hasyim. Selanjutnya, Salahuddin pindah ke Jakarta pada awal tahun 1950 setelah ayahnya diangkat menjadi Menteri Agama.
Meskipun putra kiai, Gus Sholah menerima pendidikan yang agak berbeda dari saudaranya, Gus Dur. Gus Dur menghabiskan masa kecilnya di pesantren, sementara Gus Sholah menempuh pendidikan umum secara signifikan, mulai dari SD Perwari Salemba, SMP Negeri 1 Cikini, dan SMA Negeri 1 Budi Utomo, sebelum menyelesaikan kuliahnya di jurusan Arsitektur ITB.
Saya tidak tinggal di Jombang untuk waktu yang lama karena setelah tahun 1950, saya harus pindah ke Jakarta bersama ayahanda saya, yang saat itu menjabat sebagai menteri agama. Dalam temuan dengan Radar Jombang di Dalem Kasepuhan, dia menceritakan, "Otomatis secara pendidikan saya memang menghabiskan pendidikan di umum, meski di sore harinya bisanya tetap ada kegiatan mengaji untuk mengisi ilmu agama."
Sejak kecil, Salahuddin belajar mengaji bersama saudara-saudaranya. Ini adalah aktivitas yang harus dilakukan setiap hari. Kegiatan mengaji dipimpin langsung oleh ayahnya saat dia masih hidup. Setelah Kiai Wahid meninggal, sang ibu mengambil alih pekerjaan itu. Mereka juga dididik oleh KH. Bisri Syansuri, yang sering ke Jakarta.
Selain belajar membaca Al-Qur’an, remaja Salahuddin juga belajar fiqh, nahwu, sorof, dan tarikh. Guru-gurunya antara lain Ust. Muhammad Fauzi dan Ust. Abdul Ghoffar. Keduanya alumni Pesantren Tebuireng yang tinggal di Jakarta.
Tak saja itu, kehidupan beliau usai lepas dari kampus juga banyak bergerak di bidang arsitektur. Gus Sholah adalah salah satu arsitek handal dan pernah mengepalai beberapa perusahaan konstruksi besar hingga akhirnya berhenti ditahun 1998, setelah krisis moneter melanda Indonesia. Selain itu, juga bergerak di beberapa organisasi dan partai politik, bahkan sempat juga digandeng Wiranto untuk menjadi calon Wakil Presiden 2004. “Bisa dibilang hampir 57 tahun saya tidak lagi hidup di Jombang dan memang sibuk di Jakarta. Saya baru pulang kampung ke Jombang ketika usia sudah 64 tahun dan ditunjuk langsung menjadi pengasuh Tebuireng,” lanjut beliau.

MASA PERNIKAHAN

Salahuddin muda menikah dengan Farida, putri KH. Syaifudin Zuhri, mantan Menteri Agama, pada tahun 1968. Tidak ada unsur kesengajaan dalam pernikahan ini karena keduanya adalah anak dari mantan Menteri Agama. Salahuddin tidak mengenal calon istrinya sebelum mertuanya. Saat itu, dia tidak tahu bahwa Farida adalah putri mantan Menteri Agama.
Kuliah Salahuddin sempat terhenti cukup lama setelah pernikahan, dan baru kembali aktif pada tahun 1977. Pada tahun 1979, ia dapat menyelesaikan pendidikannya. Pasangan Salahuddin Wahid-Farida memiliki tiga anak: Irfan Asy’ari Sudirman—juga dikenal sebagai Ipang Wahid—Iqbal Billy—dan Arina Saraswati.

KARIER POLITIK

Gus Solah berpendapat berbeda dari Gus Dur, yang dianggap anti ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) karena sering mengkritik organisasi ini. Ia langsung menjadi anggota ICMI dan bahkan terpilih menjadi anggota dewan penasehat dari 1995 hingga 2005. Pada tahun 2000, ia juga terpilih sebagai ketua MPP ICMI dari 2000 hingga 2005. Gus Solah semakin dekat dengan dunia politik berkat keanggotaannya di ICMI.
Seiring dengan kakaknya, Abdurrahman Wahid, yang juga dikenal sebagai Gus Dur, namanya semakin populer. Itu tidak pernah sesuai dengan sikap Gus Dur. Pada tahun 1998, pada awal Era Reformasi, ia memilih untuk bergabung dengan Partai Kebangkitan Umat (PKU) daripada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang didirikan oleh Gus Dur.
Sejak itu, ia telah gagal menangani masalah nasional. Ia aktif sebagai pengurus PB NU dan dicalonkan menjadi Wakil Presiden pada Pemilihan Presiden 2004, mendampingi calon Wakil Presiden Wiranto. Sayang, pasangan ini kehilangan suara dibandingkan dengan calon lain.
 Gus Solah tidak bertindak. Ia masih terlibat dalam kegiatan sosial dan keagamaan lainnya. Pada tahun 2006, keluarga besar Bani Hasyim memintanya untuk mengelola pesantren Tebuireng, yang diasuh oleh bapak dan kakeknya sebelumnya. Dia juga kembali ke sekolah..

Dari Tebuireng untuk Bangsa

Salah satu gedung di Tebu Ireng

Pesantren Tebuireng telah menghasilkan banyak tokoh pendidikan nasional yang memiliki integritas bangsa yang membanggakan selama sejarahnya. Tebuireng memainkan peran penting dalam sejarah kemerdekaan bangsa ini. Prestasi Tebuireng, yang merupakan tokoh agamawan besar, pahlawan nasional, presiden, dan guru bangsa, harus diakui dan dihormati dengan sepenuh hati. Salah satu prestasi terbesarnya adalah ketika Tebuireng berpartisipasi dalam gerakan Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama, yang memicu perang mempertahankan NKRI di Surabaya pada 10 November 1945, yang dipimpin oleh Hadratus Syekh Hasyim Asy. Selama memimpin Tebuireng, Gus Solah berupaya menggugah para guru, pembina santri, dan karyawan untuk memperbaiki diri dan meningkatkan kinerja melalui kerja sama dan keikhlasan. Selanjutnya, Konsorsium Pendidikan Islam (KPI) akan mempekerjakan konsultan pendidikan untuk memberikan pelatihan kepada guru. KPI juga membantu kepala sekolah menyusun Standar Operasi Prosedur (SOP) untuk kegiatan belajar mengajar (KBM).

Semua unit pendidikan di Tebuireng mulai menggunakan sistem pendidikan full day sejak awal 2007. Para pembina diberi latihan khusus untuk melakukan pekerjaan mereka dengan baik. Seorang pustakawan akan didatangkan untuk membantu mengelola perpustakaan dengan cara yang teratur dan terarah. Pada saat yang sama, Madrasah Mu’allimin dan Ma’had Aly didirikan, dan Madrasah Diniyah dan kelas Takhassus didirikan untuk melanjutkan pendidikan klasik.

Gus Solah telah berusaha untuk memperbaiki sarana fisik secara bertahap sejak awal kepemimpinannya. Klinik kesehatan dibangun di dekat kompleks SMA, masjid diperluas dan ditingkatkan dengan mempertahankan struktur lama, ruang makan diperbaiki, dan gedung tua direnovasi. Target pembangunan fisik adalah selesai dalam waktu lima hingga tujuh tahun.

Gus Solah terus terlibat dalam berbagai kegiatan sosial selain menahkodai Tebuireng. Dia termasuk dalam banyak kelompok, termasuk Forum Pemantauan Pemberantasan Korupsi (2004), Barisan Rakyat Sejahtera (Barasetra), Forum Indonesia Satu (FIS), dan Kajian Masalah Kepahlawanan yang disusun oleh IKPNI (Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia).